Hukum Menasihati Sesama Manusia

Di tengah perjalanan kehidupan yang dipenuhi oleh ujian, godaan, dan berbagai tantangan moral, manusia tidak diciptakan untuk berjalan sendirian. Dalam kebersamaan, terdapat kekuatan. Dalam interaksi sosial, ada kesempatan untuk saling menguatkan, saling membantu, dan saling memperbaiki. Salah satu bentuk kasih sayang yang luhur antar sesama adalah saling menasihati, sebuah amalan yang sangat dijunjung tinggi dalam Islam. Memberi nasihat bukan sekadar saran, tetapi merupakan manifestasi dari cinta yang tulus, sebuah bentuk perhatian yang dalam, dan perintah agama yang tak dapat dianggap sepele. Maka menjadi penting untuk memahami, bagaimana Islam memandang hukum menasihati sesama manusia.

Nasihat dalam Islam bukan hanya sebuah pilihan, melainkan kewajiban yang memiliki dasar syar’i yang kuat. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berulang kali menegaskan pentingnya amar ma’ruf dan nahi mungkar, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari keburukan. Dalam Surah Al-Asr, Allah berfirman dengan penuh penekanan: “Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran.” Ayat ini menjadi bukti bahwa menasihati adalah bagian integral dari keimanan dan amal shalih. Ia bukan perbuatan remeh, melainkan salah satu pondasi keselamatan manusia dari kerugian yang nyata.

Rasulullah ﷺ juga menegaskan pentingnya nasihat dalam sabda beliau yang masyhur: “Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, ‘Untuk siapa?’ Beliau menjawab, ‘Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslimin, dan seluruh kaum Muslimin.” (HR. Muslim). Hadits ini menjadi penjelasan yang jelas bahwa nasihat adalah bagian tak terpisahkan dari identitas seorang muslim. Ia bukan hanya diberikan kepada mereka yang bersalah, melainkan untuk semua orang dalam seluruh tingkatan, dari pemimpin hingga rakyat, dari orang tua hingga anak-anak, dari sahabat hingga orang asing. Karena hakikat nasihat bukanlah untuk merendahkan, tetapi untuk menyelamatkan dan menyucikan jiwa.

Dalam Islam, hukum menasihati sesama bisa menjadi fardhu ‘ain dalam kondisi tertentu, terutama jika seseorang menyaksikan kemungkaran di depan matanya dan tidak ada orang lain yang bisa menegur kecuali dirinya. Menasihati juga bisa menjadi fardhu kifayah, yaitu kewajiban kolektif, jika dalam suatu masyarakat sudah ada yang menunaikannya maka gugur kewajiban dari yang lain. Namun bila semua orang diam, maka dosa akan menimpa seluruh masyarakat tersebut. Ini menunjukkan betapa pentingnya fungsi kontrol sosial yang Islami, di mana masyarakat tidak hanya peduli terhadap dirinya sendiri, tetapi juga memperhatikan keadaan saudaranya.

Sayangnya, dalam praktik kehidupan modern, sering kali nasihat dipandang sebagai gangguan atau bahkan dianggap sebagai bentuk intervensi terhadap kebebasan pribadi. Banyak yang tidak suka dinasihati, merasa terganggu, merasa disudutkan, atau merasa bahwa hidupnya adalah urusannya sendiri. Namun seorang muslim sejati memahami bahwa ketika ada orang yang menasihatinya, itu bukan karena ingin merendahkan, tetapi karena cinta yang tulus dari hati yang peduli. Sebab nasihat yang benar lahir dari hati yang tidak ingin saudaranya tersesat, tidak ingin temannya jatuh dalam maksiat, dan tidak ingin masyarakatnya terjerumus dalam kehancuran moral.

Namun demikian, dalam memberikan nasihat, Islam mengajarkan adab dan etika yang harus dijaga. Nasihat yang diberikan dengan hikmah dan kelembutan akan lebih mudah diterima dibandingkan dengan kata-kata yang kasar dan menyakitkan. Allah pun memerintahkan Nabi Musa dan Harun untuk berbicara dengan Fir’aun dengan perkataan yang lembut, meskipun Fir’aun adalah musuh yang sangat sombong dan menyesatkan. Jika kepada seorang penguasa zalim pun diperintahkan untuk lemah lembut, apalagi kepada sesama saudara seiman yang sedang khilaf atau lalai. Maka nasihat yang dilakukan dengan cinta, dengan empati, dan dengan kerendahan hati adalah nasihat yang membekas dan dapat mengubah hati.

Memberi nasihat tidak memerlukan gelar tinggi atau kedudukan sosial tertentu. Setiap muslim memiliki tanggung jawab untuk menasihati saudaranya jika melihatnya tergelincir dalam kesalahan. Bahkan seorang anak kecil pun bisa menjadi pengingat bagi orang dewasa. Seorang yang baru mengenal agama pun bisa menjadi sebab hidayah bagi mereka yang telah lama beragama. Karena Allah bisa menjadikan siapa saja sebagai jalan kebaikan. Oleh sebab itu, jangan pernah meremehkan nasihat, dan jangan pula meremehkan siapa yang menyampaikannya. Bisa jadi, dari lisan yang sederhana, keluar kata-kata yang menggugah dan menyelamatkan.

Di sisi lain, menerima nasihat juga merupakan bagian dari kemuliaan akhlak. Orang yang mulia adalah mereka yang lapang dada menerima masukan dan koreksi. Ia tidak merasa tersinggung ketika diberi tahu, justru ia bersyukur karena ada yang masih peduli terhadapnya. Dalam sejarah Islam, para sahabat Rasulullah ﷺ sangat terbuka dalam menerima nasihat. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu bahkan pernah berkata, “Semoga Allah merahmati orang yang menunjukkan aibku.” Ini adalah cermin kebesaran jiwa, di mana kebenaran lebih dicintai daripada harga diri. Karena sesungguhnya, nasihat adalah cermin yang jujur, yang memperlihatkan kekurangan yang kadang tidak kita sadari.

Ketika nasihat menjadi budaya dalam masyarakat, maka masyarakat itu akan menjadi kuat secara moral dan spiritual. Tidak ada yang merasa superior, dan tidak pula yang merasa ditinggalkan. Semua saling mendukung, saling mengingatkan, dan saling menjaga. Jika satu jatuh, yang lain mengulurkan tangan. Jika satu tergelincir, yang lain membisikkan petunjuk. Begitulah suasana yang dirindukan oleh Islam. Sebuah komunitas yang saling menasihati bukan karena merasa lebih baik, tetapi karena tidak ingin saudaranya binasa.

Namun, memberi nasihat juga memerlukan kesabaran. Tidak semua orang langsung berubah setelah dinasihati. Ada yang butuh waktu, ada yang butuh pendekatan, bahkan ada yang butuh didoakan secara diam-diam. Maka jangan mudah putus asa jika nasihat kita tidak langsung membuahkan hasil. Bisa jadi benih nasihat itu akan tumbuh suatu hari nanti, ketika hati telah siap menerimanya. Yang penting adalah keikhlasan dalam menyampaikan, dan ketulusan dalam berharap kepada Allah agar saudaranya diberi petunjuk.

Islam sangat menekankan pentingnya peran nasihat dalam menjaga iman dan amal. Ketika seseorang membiarkan saudaranya dalam kemaksiatan tanpa menegurnya, maka sejatinya ia telah berkhianat terhadap amanah ukhuwah. Karena ukhuwah bukan hanya berbagi tawa, tetapi juga siap mengingatkan ketika ada kesalahan. Nabi Muhammad ﷺ bersabda: “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim). Hadits ini menegaskan bahwa menasihati adalah bagian dari iman, dan iman itu harus hidup dalam tindakan nyata.

Dalam dunia yang semakin bebas dan terbuka, peran nasihat semakin penting. Ketika batas-batas kebenaran mulai kabur, ketika keburukan mulai dianggap biasa, dan ketika kesalahan dianggap sebagai hak pribadi, di sinilah nasihat menjadi suara yang menuntun. Ia adalah cahaya dalam gelap, penunjuk arah dalam kabut, dan pengingat dalam kelalaian. Maka jangan pernah takut untuk menasihati, dan jangan pernah enggan untuk dinasihati. Karena dalam nasihat ada kehidupan. Dalam nasihat ada kasih sayang. Dan dalam nasihat ada petunjuk menuju keselamatan.

Masyarakat yang kehilangan budaya menasihati adalah masyarakat yang sedang berjalan menuju kehancuran moral. Jika kebaikan tidak lagi disuarakan, dan keburukan dibiarkan, maka lambat laun nilai-nilai akan luntur. Anak-anak tumbuh tanpa arah, pemuda berkembang tanpa pegangan, dan orang tua hidup dalam kepasrahan. Semua itu bisa dicegah jika nasihat dihidupkan kembali, dengan cara yang bijak dan penuh hikmah. Karena kata-kata yang lembut, yang disampaikan dengan cinta, memiliki kekuatan yang luar biasa untuk mengubah hati.

Maka dalam Islam, hukum menasihati bukanlah sekadar amalan tambahan, tetapi bagian dari kewajiban sosial yang harus dijaga. Ia adalah bentuk tanggung jawab atas keimanan dan ukhuwah. Ia adalah bukti bahwa kita peduli terhadap kebenaran, dan bahwa kita tidak rela melihat saudara kita jatuh dalam jurang kesesatan. Maka marilah kita hidupkan kembali budaya nasihat, dalam keluarga, di sekolah, di tempat kerja, dan di mana pun kita berada. Dengan nasihat, kita saling menguatkan. Dengan nasihat, kita saling menjaga. Dan dengan nasihat, kita bersama-sama menuju surga yang Allah janjikan bagi hamba-hamba-Nya yang saling mencintai karena-Nya.

Profile Sekolah

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisci

Berita Terbaru