Pentingnya Bersyukur Kepada Allah

Dalam kehidupan yang terus berjalan tanpa henti, manusia sering kali terjebak dalam pusaran keinginan yang tak berujung. Kita bangun di pagi hari, memulai aktivitas dengan harapan-harapan baru, mengejar impian, mencari rezeki, menggapai cita-cita, dan tak jarang, larut dalam keluhan. Tatkala apa yang kita impikan tak sesuai harapan, mulailah kita menggerutu, mempertanyakan keadilan, bahkan merasa bahwa hidup ini tidak berpihak. Padahal, dalam setiap detik kehidupan yang Allah karuniakan, terkandung nikmat yang tak terhitung jumlahnya. Maka, penting bagi setiap hamba untuk senantiasa bersyukur, sebab syukur adalah kunci kebahagiaan, pintu ketenangan, dan jalan menuju keridhaan-Nya.

Bersyukur bukan sekadar mengucap “Alhamdulillah” di lisan, melainkan hadir dari hati yang penuh kesadaran, diikuti oleh sikap dan perbuatan yang mencerminkan penerimaan terhadap segala pemberian Allah. Rasa syukur akan mengajarkan manusia untuk tidak hanya menghitung apa yang belum dimiliki, tetapi menyadari begitu banyak yang telah diberikan. Mulai dari udara yang kita hirup, mata yang melihat, kaki yang berjalan, hingga detak jantung yang terus berdetak tanpa kita minta. Semuanya adalah karunia, semuanya adalah nikmat, dan semuanya pantas disyukuri.

Allah SWT dalam Al-Qur’an menegaskan bahwa bersyukur adalah jalan untuk mendapatkan tambahan nikmat. Dalam Surah Ibrahim ayat 7, Allah berfirman: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kamu kufur, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” Ayat ini menjadi pengingat yang kuat bahwa bersyukur bukan hanya akan menjaga nikmat yang ada, tetapi juga akan mendatangkan kebaikan yang lebih besar. Sebaliknya, mengingkari nikmat dengan keluhan yang tiada henti hanya akan mendatangkan kebinasaan, baik secara ruhani maupun dalam kehidupan nyata.

Bersyukur juga menjadikan hati lebih tenang dan pikiran lebih lapang. Ketika seseorang pandai mensyukuri hidupnya, ia tidak mudah iri terhadap orang lain. Ia tidak sibuk membandingkan dirinya dengan mereka yang tampak lebih bahagia atau lebih sukses di permukaan. Ia memahami bahwa setiap orang punya jalan dan ujian masing-masing. Bersyukur menjadikannya mampu menerima takdir dengan lapang dada, sekaligus mendorongnya untuk terus berusaha tanpa rasa kecewa yang berlebihan. Ia tahu bahwa nikmat tidak selalu berbentuk materi. Ada nikmat ketenangan, nikmat kesehatan, nikmat persahabatan, nikmat iman, dan sejuta nikmat lainnya yang tak tampak oleh mata namun sangat berarti bagi jiwa.

Nabi Muhammad ﷺ telah memberi contoh agung dalam hal bersyukur. Beliau adalah manusia pilihan, kekasih Allah, yang sudah dijamin ampunan atas dosa-dosanya, namun tetap bersungguh-sungguh dalam ibadah. Dalam sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim, dikisahkan bahwa Rasulullah pernah mengerjakan shalat malam hingga kaki beliau bengkak. Ketika ditanya oleh Aisyah, mengapa beliau beribadah demikian padahal telah dijamin ampunan, beliau menjawab: “Afala akunu ‘abdan syakuran?” – “Tidakkah aku ingin menjadi hamba yang bersyukur?” Kalimat ini mengandung makna yang sangat dalam, bahwa syukur bukan karena kita merasa kurang, tetapi karena kita sadar betapa besar cinta dan pemberian Allah kepada kita.

Syukur juga menjadi penghapus keluh kesah. Saat seseorang fokus pada apa yang ia miliki, maka ia akan lebih mudah melihat sisi terang dalam setiap keadaan. Bahkan dalam musibah, seorang yang bersyukur masih bisa melihat bahwa masih ada hal baik yang bisa disyukuri. Ketika kehilangan sesuatu, ia masih bisa bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk hidup. Ketika diuji dengan penyakit, ia bisa melihat bahwa sakit itu datang dengan pahala dan pengampunan dosa. Syukur membuat seseorang selalu menemukan alasan untuk tersenyum, bahkan dalam badai sekalipun.

Namun bersyukur bukanlah perkara mudah. Ia butuh latihan dan kesadaran yang terus diasah. Dalam dunia yang serba instan dan konsumtif, manusia mudah merasa kurang. Media sosial memperparah keadaan dengan menampilkan kehidupan orang lain yang tampak sempurna. Akibatnya, banyak orang merasa dirinya tidak cukup, rumahnya tak megah, gajinya terlalu kecil, wajahnya kurang menarik, dan hidupnya jauh dari kata bahagia. Di sinilah pentingnya memelihara hati dengan rasa syukur. Karena syukur adalah pelindung dari racun ketidakpuasan.

Syukur tidak menjadikan seseorang pasrah tanpa usaha, tetapi menjadikannya ikhlas dalam menerima hasil dari usaha tersebut. Seorang petani yang bersyukur tetap menanam benih meski langit belum menurunkan hujan. Ia bekerja keras dengan keyakinan bahwa hasil ada di tangan Allah. Ketika panennya berhasil, ia bersyukur dan tidak sombong. Ketika gagal panen, ia tetap bersyukur karena telah diberi tenaga dan kesempatan untuk berusaha. Itulah syukur yang sejati, yang tidak bergantung pada hasil, tetapi pada kesadaran bahwa setiap langkah hidup adalah karunia.

Allah tidak menciptakan manusia untuk menjadi pengeluh, melainkan untuk menjadi hamba yang mengenal nikmat dan berterima kasih. Dalam Surah An-Nahl ayat 78, Allah berfirman: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” Ayat ini menegaskan bahwa segala kemampuan yang kita miliki hari ini adalah anugerah, bukan hasil usaha semata. Bahkan pikiran yang cerdas dan kemampuan bekerja berasal dari-Nya. Maka siapa pun yang menyadari hal ini, ia tidak akan menyombongkan dirinya, tetapi akan menunduk dalam syukur yang mendalam.

Syukur juga menjadi pelindung hati dari keputusasaan. Ketika hidup terasa sulit dan jalan seakan tertutup, rasa syukur dapat menjadi cahaya yang menerangi langkah. Bersyukur bahwa kita masih diberi waktu, masih diberi iman, dan masih punya kesempatan untuk berubah, bangkit, dan melangkah lagi. Dengan syukur, seseorang tidak terjerumus dalam jurang kekecewaan. Ia tetap berharap, tetap yakin, dan tetap tersenyum meskipun hidup tak selalu berjalan sesuai rencana.

Anak-anak yang diajarkan bersyukur sejak dini akan tumbuh menjadi pribadi yang rendah hati, tidak mudah marah, dan tahu berterima kasih. Keluarga yang dipenuhi rasa syukur akan menjadi rumah yang damai, jauh dari perselisihan karena semua anggota merasa cukup dengan keberadaan satu sama lain. Sebaliknya, ketika syukur hilang dari hati, yang muncul adalah keluh kesah, tuntutan, dan rasa tak pernah puas. Maka menjaga rasa syukur adalah menjaga harmoni dalam rumah, masyarakat, bahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tidak ada yang sia-sia dalam hidup seorang yang pandai bersyukur. Bahkan kegagalan pun bisa menjadi pelajaran berharga yang membuatnya semakin dekat kepada Allah. Ia tidak mengeluh karena yakin bahwa Allah sedang mengatur sesuatu yang lebih baik. Ia tidak berprasangka buruk kepada takdir, karena ia percaya bahwa setiap takdir Allah adalah bagian dari kasih sayang-Nya yang luas. Ia bersyukur bukan hanya atas nikmat yang tampak, tetapi juga atas nikmat yang tersembunyi, yang mungkin belum ia pahami saat ini.

Bersyukur juga menjadi bentuk pengakuan atas kelemahan diri dan kebesaran Allah. Seorang hamba yang bersyukur mengakui bahwa ia tidak mampu hidup tanpa pertolongan Tuhannya. Ia sadar bahwa setiap hembusan napas adalah pemberian, bukan hak. Ia tidak merasa berhak atas hidup yang tenang, rezeki yang lancar, atau keluarga yang harmonis, tetapi melihat semua itu sebagai anugerah yang layak disyukuri. Kesadaran semacam ini membuat hidup menjadi lebih bermakna, karena setiap hari terasa seperti hadiah yang baru.

Ketika hati dipenuhi syukur, maka hidup menjadi ringan. Beban terasa tidak seberat sebelumnya, karena ada perasaan bahwa Allah selalu membersamai. Dalam kesendirian pun seorang yang bersyukur merasa ditemani, dalam kekurangan ia merasa dicukupi, dan dalam kehilangan ia merasa dipeluk oleh kasih sayang Ilahi. Syukur menjadikan jiwa seseorang tetap teguh dalam badai, dan tetap rendah hati saat berada di puncak kejayaan. Ia menjadi hamba yang tidak mudah terguncang oleh perubahan keadaan, karena ia bersandar kepada Allah, bukan kepada dunia yang fana.

Bersyukur kepada Allah bukan hanya kewajiban, tetapi kebutuhan. Tanpa syukur, hidup akan terasa hampa dan berat. Tanpa syukur, keberlimpahan pun terasa kurang. Sebaliknya, dengan syukur, sedikit menjadi cukup, kekurangan terasa indah, dan setiap hari menjadi nikmat yang luar biasa. Syukur adalah jalan menuju kebahagiaan sejati, yang tidak tergantung pada kondisi luar, melainkan tumbuh dari dalam hati yang mengenal Tuhannya.

Jika hari ini kita masih bisa membaca, mendengar, bergerak, bernapas, bahkan merasa, maka kita sudah memiliki cukup alasan untuk bersyukur. Tidak ada alasan untuk terus mengeluh dan memandang hidup dengan pesimisme. Karena Allah tidak pernah berhenti memberi. Ia terus mencurahkan rahmat-Nya, bahkan ketika kita sering lupa berterima kasih. Maka marilah kita melatih diri untuk lebih sering mengucap syukur, lebih dalam meresapi nikmat, dan lebih ikhlas menerima takdir.

Semoga kita termasuk dalam golongan hamba-hamba-Nya yang bersyukur. Karena sesungguhnya, dalam syukur terdapat keberkahan. Dan keberkahan itu akan membawa kita kepada hidup yang penuh kebaikan, kedamaian, dan keridhaan Allah. Sebab, tiada balasan terbaik bagi hamba yang bersyukur selain surga-Nya yang abadi, tempat di mana segala nikmat tak pernah putus dan segala kesedihan tak pernah hadir. Dan itu semua bermula dari satu hal sederhana, yaitu bersyukur kepada Allah, setiap hari, dalam setiap keadaan.

Profile Sekolah

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisci

Berita Terbaru